Anggaran merupakan suatu rencana seluruh kegiatan perusahaan untuk jangka waktu (periode) tertentu dimasa mendatang, yang disusun secara sistematis dalam bentuk angka dan dinyatakan dalam bentuk moneter.
Budget Plan dalam Penganggaran Perusahaan :
Anggaran Penjualan.
Anggaran Produksi.
Anggaran Bahan Baku.
Anggaran Tenaga Kerja.
Anggaran Biaya Overhead Pabrik
Selasa, 17 Februari 2015
Senin, 16 Februari 2015
Selasa, 10 Februari 2015
TRANSAKSI DALAM PANDANGAN ISLAM
A.
Pendahuluan
Kegiatan usaha pada hakekatnya adalah kumpulan transaksi-transaksi
ekonomi yang mengikuti suatu tatanan tertentu. Dalam Islam, transaksi utama dalam
kegiatan usaha adalah transaksi riil yang menyangkut suatu obyek tertentu, baik
obyek berupa barang ataupun jasa. Menurut Ibnu Khaldun tingkatan kegiatan usaha
manusia dimulai dari kegiatan usaha yang berkaitan dengan hasil sumber daya
alam, misalnya pertanian, perikanan dan pertambangan. Tingkatan berikutnya
adalah kegiatan yang berkaitan dengan hasil rekayasa manusia atas hasil sumber
daya alam. Dilanjutkan dengan kegiatan perdagangan yang secara alami timbul
akibat perbedaan penawaran-permintaan dari hasil sumber daya alam maupun hasil
rekayasa manusia pada suatu tempat. Dan akhirnya adalah kegiatan usaha jasa
yang timbul karena manusia menginginkan sesuatu yang tidak bisa atau tidak mau
dilakukannya, bagi Ibnu Khaldun hal itu disebut sebagai kemewahan. Manusia
mempunyai keterbatasan dalam berusaha, oleh karena itu sesuai dengan fitrahnya manusia harus berusaha mengadakan
kerjasama di antara mereka. Kerjasama dalam usaha yang sesuai dengan
prinsip-prinsip Syariah pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam:
] Kerjasama
dalam kegiatan usaha, dalam hal ini salah satu pihak dapat menjadi pemberi
pembiayaan dimana atas manfaat yang timbul dari pembiayaan tersebut dapat
dilakukan bagi hasil. Kerjasama ini dapat berupa pembiayaan usaha 100% melalui
ikatan atau aqad Mudharaba maupun pembiayaan usaha bersama melalui aqad
Musyaraka.
] Kerjasama
dalam perdagangan, dimana untuk meningkatkan perdagangan dapat diberikan
fasilitas-fasilitas tertentu dalam pembayaran maupun penyerahan obyek. Karena
pihak yang mendapat fasilitas akan memperoleh manfaat, maka pihak pemberi
fasilitas berhak untuk mendapat bagi hasil (keuntungan) yang dapat berbentuk
harga yang berbeda dengan harga tunai.
] Kerjasama
dalam penyewaan aset dimana obyek transaksi adalah manfaat dari penggunaan aset.
Sebagaimana diketahui bahwa
ada 2 hukum asal dalam syari’ah. Dalam ibadah kaidah hukum yang berlaku adalah
bahwa semua hal yang dilarang kecuali yang ada ketentuannya berdasarkan Al-quran
dan Al-hadist. Sedangkan dalam urusan muamalah, semuanya diperbolehkan kecuali
ada dalil yang melarangnya.
B.
Prinsip
Aqad Dalam Transaksi Ekonomi Islam
Kegiatan hubungan manusia dengan manusia (muamalah) dalam bidang ekonomi menurut Syariah harus memenuhi rukun dan syarat tertentu. Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dan menjadi dasar terjadinya sesuatu, yang secara bersama-sama akan mengakibatkan keabsahan. Rukun transaksi ekonomi Syariah adalah:
- Adanya
pihak-pihak yang melakukan transaksi, misalnya penjual dan pembeli,
penyewa dan pemberi sewa, pemberi jasa dan penerima jasa.
- Adanya barang (maal) atau jasa (amal) yang
menjadi obyek transaksi.
- Adanya kesepakatan bersama dalam bentuk
kesepakatan menyerahkan (ijab) bersama dengan kesepakatan menerima
(kabul).
Disamping itu harus pula dipenuhi syarat atau segala sesuatu yang keberadaannya menjadi pelengkap dari rukun yang bersangkutan. Contohnya syarat pihak yang melakukan transaksi adalah cakap hukum, syarat obyek transaksi adalah spesifik atau tertentu, jelas sifat-sifatnya, jelas ukurannya, bermanfaat dan jelas nilainya.
Obyek transaksi menurut syariah dapat meliputi barang (maal) atau jasa, bahkan jasa dapat juga
termasuk jasa dari pemanfaatan binatang. Pada prinsipnya obyek transaksi dapat
dibedakan kedalam:
a) Obyek
yang sudah pasti (ayn), yaitu obyek
yang jelas keberadaannya atau dapat segera diperoleh manfaatnya. Lazimnya
disebut real asset dan berbentuk
barang atau jasa.
b) Obyek
yang masih merupakan kewajiban (dayn),
yaitu obyek yang timbul akibat suatu transaksi yang tidak tunai. Lazimnya
disebut financial asset dan dapat
berupa uang atau surat berharga.
Aqad muamalah dalam bidang
ekonomi menurut sifat partisipasi dari para pihak yang terlibat dalam transaksi
secara prinsip dapat dibagi dalam:
a.
Aqad
pertukaran tetap, yang lazimnya adalah kegiatan perdagangan. Sesuai dengan
sifatnya, aqad ini umumnya memberikan kepastian hasil bagi para pihak yang
melakukan transaksi.
b. Aqad
penggabungan atau pencampuran, yang lazimnya adalah kegiatan investasi. Aqad
ini umumnya hanya memberikan kepastian dalam hubungan antar pihak dan jangka
waktu dari hubungan tersebut, namun umumnya tidak dapat memberikan kepastian
hasil.
c. Kegiatan
penguasaan sementara, yang lazimnya adalah kegiatan sewa-menyewa. Aqad ini
umumnya memberikan kepastian dalam manfaat yang diterima oleh para pihak.
Sehingga dapat terjadi pertukaran maupun penggabungan atau pencampuran antara ayn dengan ayn, ayn dengan dayn dan dayn dengan dayn.
Hanya menurut fiqih muamalah
transaksi antara dayn dengan dayn dilarang kecuali kegiatan penukaran
uang atau logam mulia. Kegiatan muamalah dalam bidang ekonomi melalui pasar
modal umumnya adalah kegiatan pertukaran tetap (perdagangan) dan kegiatan
penggabungan atau pencampuran (investasi). Sementara itu, waktu pertukaran
maupun penggabungan atau pencampuran dapat terjadi secara tunai atau seketika (naqdan)maupun secara tidak tunai atau
tangguh (ghairu naqdan). Transaksi
keuangan umumnya timbul akibat transaksi yang berlaku secara tidak tunai atau
tangguh. Hanya menurut fiqih muamalah, dilarang atau tidak sah suatu transaksi
dimana kedua belah pihak melakukan secara tidak tunai atau tangguh (ghairu naqdan dengan ghairu naqdan).
Dalam menerapkan aqad-aqad ini
pada transaksi keuangan modern, Vogel dan Hayes mengatakan bahwa terdapat 4
prinsip dalam perikatan secara Syariah yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Tidak
semua aqad bersifat mengikat kedua belah pihak (aqad lazim), karena ada kontrak yang hanya mengikat satu pihak (aqad Jaiz).
2. Dalam
melaksanakan aqad harus dipertimbangkan tanggung jawab yang berkaitan dengan
kepercayaan yang diberikan kepada pihak yang dianggap memenuhi syarat untuk
memegang kepercayaan secara penuh (amin)
dengan pihak yang masih perlu memenuhi kewajiban sebagai penjamin (dhamin).
3. Larangan
mempertukarkan kewajiban (dayn)
melalui transaksi penjualan sehingga menimbulkan kewajiban (dayn) baru atau yang disebut bay’ al dayn bi al dayn.
4. Aqad
yang berbeda menurut tingkat kewajiban yang masih bersifat janji (wad) dengan tingkat kewajiban yang
berupa sumpah (ahd).
C.
Transaksi Yang Bathil Dalam Islam
Transaksi bathil yang
terdapat dalam transaksi
ekonomi Islam adalah merupakan asas dan kaedah yang digunakan dalam menilai
sesuatu amalan atau aktivitas
mua’malah apakah sesuai
dengan prinsip transaksi
Islam. Transaksi yang bathil
tersebut adalah transaksi yang mengandung unsur-unsur antara lain:
C.1.
Riba
Islam membuka jalan seluas-luasnya terhadap usaha pengembangan harta
melalui cara perniagaan yang dihalalkan oleh Islam , sepertimana firman Allah
swt dalam Al-Quran surat Al-baqarah
ayat 282 :
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan (gunakan) harta-harta kamu
sesama kamu dengan jalan yang salah (tipu, judi dan sebagainya), kecuali dengan
jalan perniagaan yang dilakukan secara suka sama suka di antara kamu”. (QS.
Al-baqarah : 282).
Setelah Allah swt membuka jalan pengembangan harta yang halal dengan cara
perniagaan, maka Allah swt menutup pula jalan pengembangan harta melalui jalan
riba dengan mengharamkannya baik yang sedikit mahupun yang banyak, sesuai dengan firman Allah swt dalam
Al-Quran surat Al-baqarah ayat 275
:
“Dan Allah menghalalkan perniagaan dan
mengharamkan riba”. (QS.
Al-Baqarah : 275)
Islam juga mencela dan mengancam kaum yahudi yang mempraktikkan serta
menghalalkan riba, sedangkan riba itu telah diharamkan ke atas mereka.
Perniagaan model riba
pada masa sekarang telah menyebar, merata di seluruh pelosok dunia, di kota dan
di desa. Penggemarnya bukan hanya orang kafir, tetapi juga kaum muslimin.
Berniaga dengan uang pinjaman dari bank riba yang harus dibayar bunganya setiap
bulan, bukan hanya pengusaha kecil yang susah mencari pinjaman orang di
kampung-sehingga didatangi bank keliling yang ingin menelurkan induknya dengan
mencekik kaum dhuafa’- akan tetapi
pengusaha yang kayapun hobinya senang berhutang di bank riba. Mereka menganggap
riba sama dengan perniagaan,
karena dinilai sama-sama mencari keuntungan.
Riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman
saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok,
yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian
lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan
menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau
modal
secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam
menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa
riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun
pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam
Islam.
Dalam Islam, memungut
riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram, seperti yang ditegas dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 275 dimana Allah menghalalkan jual beli dan
menghaaramkan riba. Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan
syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil
bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian
pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam
riba. Bagaimana suatu akad
itu dapat dikatakan riba? Hal
yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah
ditetapkannya akad di awal,
jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita
akan mengetahui hasilnya dengan pasti. Berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi
hasil bagi deposannya,
dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya, yaitu bila akad ditetapkan di
awal/persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka yang menjadi
sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha yang
meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh
peminjam. Berbeda dengan bagi
hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya, maka yang di bagi adalah keuntungan dari
yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua
belah pihak. contoh nisbahnya adalah 60%:40%, maka bagian deposan 60% dari
total keuntungan yang didapat oleh pihak bank.
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua yaitu riba hutang-piutang dan riba
jual-beli. Riba hutang-piutang
terbagi lagi menjadi riba qardh dan
riba jahiliyyah. Sedangkan riba
jual-beli terbagi atas riba fadhl dan
riba nasi’ah.
] Riba
Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap
yang berhutang (muqtaridh).
] Riba
Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu
membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
] Riba
Fadhl
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda,
sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
] Riba
Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah muncul karena
adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini
dengan yang diserahkan kemudian.
C.2.
Gharar
(Taghrir)
Mengapa Gharar (Taghrir) “Uncertain to both parties” dilarang?
Gharar atau taghrir adalah
situasi dimana terjadi incomplete
information karena adanya ketidakpastian atau ketidakjelasan dari kedua
belah pihak yang bertransaksi. Dalam taghrir, baik pihak A maupun pihak B
sama-sama tidak memiliki kepastian mengenai sesuatu yang ditransaksikan (unsertain to both parties). Gharar ini
terjadi bila kita mengubah sesuatu yang seharusnya bersifat pasti (certain) menjadi tidak pasti (uncertain).
Di antara contoh-contoh
jual beli yang ada unsur gharar ialah seperti perkara yang berlaku di zaman Nabi
saw, dimana masyarakat di zaman tersebut
melakukan penjualan buah-buahan yang masih berada di atas pokok atau di dalam
kebun yang belum jelas matangnya. Kemudian selepas diadakan akad jual-beli,
tiba-tiba datang bencana alam yang merosakkan kebun dan buah-buahan tersebut, dikarenakan hal itu berlakulah
pertengkaran dan perselisihan
antara si penjual dan si
pembeli. Si penjual bersikeras tidak mahu mengembalikan lagi bayaran yang telah dibuat oleh
pembeli, manakala si pembeli pula menuntut buah-buahan yang dibelinya yang
masih lagi belum diterimanya.
Untuk menghindari dari
transaksi yang bersifat gharar, maka
ada 4 hal yang harus informasikan secara jelas, yakni:
1) Kuantitas
2) Kualitas
3) Harga
4) Waktu penyerahan
Jadi transaksi yang bersifat gharar dilarang karena:
] Keadaan suka sama suka yang dicapai
bersifat sementara, yaitu sementara keadaannya masih tidak jelas bagi para
pihak.
] Di kemudian hari yaitu ketika keadaannya
tidak jelas, salah satu pihak akan merasa terzalimi.
] Kedua belah pihak, si penjual dan si
pembeli, berpotensi besar akan terzalaimi, meskipun diawalnya tercapai keadaan suka
sama suka.
C.3.
Tadlis
Mengapa Tadlis “unknown to one party”
dilarang?
Tadlis adalah keadaan
dimana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui oleh pihak
lain atau disebut juga dengan penipuan. Islam melarang keras setiap transaksi mua’malah dan jual beli, yang didalamnya terdapat unsur-unsur
penipuan baik dari pembeli,
penjual atau terhadap barangan yang
diperjualbelikan dari sudut timbangan
atau ukurannya.
Sabda Rasulullah saw dalam sebuah hadis yang membicarkan tentang penipuan
dalam aktivitas atau transaksi
mua’malah :
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra
katanya : Bahawa Rasulullah saw telah bersua dengan satu longgokan (timbunan)
makanan yang hendak dijual , lalu baginda memasukkan tangannya ke dalam
longgokan tersebut , tiba-tiba jarinya terasa basah lalu berkata : Apakah ini
wahai penjual makanan?Maka jawabnya : Ianya basah terkena hujan wahai
Rasulullah saw.Baginda bersabda : Mengapakah engkau tidak meletakkannya di atas
supaya dapat dilihat orang ?Barang siapa yang menipu , maka dia bukan dari
umatku.“
(H.R Abu Hurairah ra)
Setiap transaksi harus
didasarkan atas prinsip kerelaan antar kedua belah pihak, mempunyai informasi
yang benar. Ada 4 hal yang perlu diinformasikan Untuk menghindari dari
transaksi yang bersifat tadlis atau
penipuan:
1) Kualitas (mutu)
2) Kuantitas (jumlah)
3) Harga
4) Waktu penyerahan
Tadlis dilarang
karena hal ini termasuk penipuan:
] Menjual barang yang berkualitas buruk
untuk harga barang kualitas baik.
] Munjual barang yang berkuantitas banyak
untuk harga barang kuntitas sedikit.
] Menjual barang yang diketahui tidak dapat
diserahkan pada waktunya.
] Menjual barang dengan harga barang tinggi
akibat ketidaktahuan pembeli akan harga tersebut.
C.4.
Ikhtikar (Rekayasa Supply)
Mengapa Ikhtikar Dilarang?
Rekayasa pasar dalam supply
terjadi seorang produsen/penjual mengambil keuntungan diatas keuntungan normal
dengan cara mengurangi supply agar harga produk yang dijual naik. Hal ini dalam
istilah fiqih disebut “ikhtikar”. Ikhtikar biasanya dilakukan dengan
membuat entry barrier, yakni
menghambat produsen/penjual lain masuk kepasar, agar ia menjadi pemain tunggal
dipasar (monopoli). Karena itu, biasanya orang menamakan ikhtikar dengan monopoli dan penimbunan, padahal tidak selalu
seorang monopoli melakukan ikhtikar.
Mengapa ikhtikar dilarang, hal ini dikarnakan oleh :
] Seringkali ikhtikar disamakan dengan monopoli atau penimbunan
] Keharusan ikhtikar bukan pada “mono”nya “poli” (keadaan hanya ada satu
penjual), bukan pula pada kegiatan menyimpan stock lebih
] Keharamannya terletak bila komponen ini
terpenuhi:
a) Mengupayakan
adanya kelangkaan barang baik dengan cara menimbun stock atau mengenakan entry-barriier.
b) Menjual
dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga sebelum munculnya kelangkaan.
c) Mengambil
keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan sebelum komponen 1 & 2
dilakukan.
C.5.
Bai’
Najasy (Rekayasa Pasar dalam Demand)
Rekayasa pasar dalam demand
terjadi bila seseorang produsen/pembeli menciptakan permainan palsu,
seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual
produk itu naik. Hal ini terjadi misalnya dalam bursa saham (praktek
“goreng-menggoreng” saham), bursa valas dan lain-lain. Cara yang ditempuh bisa
bermacam-macam, mulai dari menyebarkan isu, melakukan order pembelian, sampai
benar-benar melakukan pembelian pancingan agar tercipta sentimen pasar untuk
beramai-ramai membeli saham/mata uang tertentu. Bila harga sudah naik level
yang diinginkan, maka yang bersangkutan akan melakukan aksi ambil untung dengan
melepas kembali saham/mata uang yang sudah dibeli, sehingga ia akn mendapat
keuntungan yang besar. Rekayasa deman ini dalam istilah fiqihnya disebut dengan
Bai’ najasy.
C.6.
Korupsi
Korupsi
merupakan perbuatan yang amat dilarang dalam Islam. Ini dikarenakan korupsi akan mengakibat
permusuhan dan pertengkaran sesama kita dalam mendapatkan sesuatu fasilitas sarana dan prasarana yang ditawarkan oleh suatu pihak yang memerlukan. Korupsi
juga akan menyebabkan pihak yang gagal mendapatkan sesuatu fasilitas sarana dan prasarana merasa dizalimi atau dianiaya. Malah,
kesan utama korupsi yakni yang kaya akan bertambah kaya dan
yang miskin bertambah miskin.
Secara
ringkasnya, korupsi ialah sesuatu yang ditawarkan kepada seseorang untuk
mempengaruhinya atau memujuknya melakukan sesuatu yang salah dalam urusan
mua’malah untuk kebaikan orang yang memberi korupsi. Pada
kebiasaannya, korupsi dilakukan dengan tujuan untuk menahan hak seseorang.
Rasulullah saw pernah bersabda dalam
menggambarkan betapa besarnya dosa orang yang melakukan korupsi dengan suatu
ancaman yang keras melalui hadisnya:
“Allah swt melaknat
orang yang memberi korupsi , dan orang yang menerima korupsi serta orang
tengahnya”.
D.
Jenis-jenis Akad Jual Beli Yang Haram
Dalam Islam
Dalam hadits Nabi Muhammad saw bersabda:
“
Hendaklah kamu berdagang, karena di dalamnya terdapat 90 % pintu rezeki”
(H.R.Ahmad).
Namun demikian, ada aturan-aturan syariah yang harus diikuti dalam
kegiatan perdagangan agar tujuan yang sesungguhnya dari perdagangan itu dapat
tercapai, yaitu kesejahteraan manusia di duniawi dan kebahagian di akhirat.
Berikut jenis-jenis
aqad jual beli yang diharamkan dalam Islam yaitu:
D.1.
Haram Zatnya
Transaksi dilarang karena
objek (barang dan/atau jasa) yang ditransaksikan juga dilarang, misalnya
minuman keras, bangkai, daging babi dan sebagainya. Jadi trnsaksi jual-beli
miniman keras adalah haram, walaupun akad jual belinya sah. Dengan demikian
bila ada nasabah yang mengajukan pembiayaan pembelian minuman keras kepada bank
dengan menggunakan akad murabahah, maka walaupun akadnya sah tetapi transaksi
ini haram karena objek transaksinya haram.
D.2.
Haram Selain Zatnya
1. Transaksi
yang melanggar prinsip “An Taraddin
Minkum”, penyebabnya adalah adanya incomplete
information karena tidak memiliki kepastian mengenai sesuatu yang
ditransaksikan (unknown to one party),
seperti :
] Mengurangi takaran (kuantitas)
] Menyembunyikan cacat (kualitas)
] Ghabah (harga)
] Menjual buah di luar musimnya dan si
penjual tahu dia tidak dapat menyerahkan pada waktunya (waktu penyerahan)
2.
Transaksi
yang melanggar prinsip “La Tazhlimuna
wala Tuzhlamun”
] Aktivitas yang dilakukan bertujuan menghambat
produsen/penjual lain masuk kepasar, agar ia menjadi pemain tunggal dipasar (Entry
barrier).
] Incomplete
information karena adanya
uncertainty to both parteis (Gharar), contohnya adalah:
N Menjual anak sapi yang masih didalam
induknya (kualitas)
N Menjual buah yang belum nampak dipohon
(kuantitas)
N Menjual dengan dua harga dalam satu
penjualan (harga)
N Menjual unta yang hilang (waktu
penyerahan)
D.3.
Tidak Sah/Tidak Lengkap Akadnya.
Suatu transaksi dapat
dikatakan tidak sah dan/atau tidak lengkap akadnya, bila terjadi salah satu
(atau lebih) faktor-faktor berikut:
a.
Rukun
dan syarat tidak terpenuhi
Rukun adalah suatu yang wajib
ada dalam suatu transaksi (necessary
condition), misalnya ada penjual dan pembeli. Tanpa adanya penjual dan
pembeli, maka jual beli tidak akan ada.
Pada umumnya, rukun dalam
muamalah iqtishadiyah (muamalah dalam bidang ekonomi) ada 3, yaitu:
] Pelaku
] Objek
] Ijab kabul
Dalam kaitannya dengan
kesepakatan, maka akad dapat menjadi batal bila terjadi:
] Kesalahan/kekeliruan objek
] paksaan (ikrah)
] penipuan (tadlis)
Selain rukun, faktor yang
harus ada supaya akad menjadi sah/lengkap adalh syarat. Syarat adalah sesuatu
yantg keberadaannya melengkapi rukun (sufficient
condition).
Syarat bukanlah rukun, jadi
tidak boleh dicampuradukan. Dilain pihak, keberadaan syarat tidak boleh:
] Menghalalkan yang haram
] mengharamkan yang halal
] menggugurkan rukun
] bertentangan dengan rukun
] mencegah berlakunya rukun
b.
Ta’alluq
Ta’alluq terjadi bila kita
hadapkan pada 2 akad yang saling dikaitkan, dimana berlakunya akad, tergantung
pada akad 2. transaksi menjadi haram, karena persyaratan bahwa si A bersedia
menjual barang X ke B asalkan kembali menjual barang tersebut kepada A. Dalam
kasus ini, diisyratkan bahwa akad 1 berlaku efektif bila akad 2 dilakukan. Penetapan
syarat ini mencegah terpenuhinya rukun.
c.
Two in one
Two in one adalah
kondisi dimana suatu transaksi diwadahi oleh 2 akad sekaligus, sehingga terjadi
ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana yang harus digunakan/berlaku. Two in one terjadi bila semua dari
ketiga faktor dibawah ini terpenuhi:
N Objek sama
N Pelaku sama
N Jangka waktu sama
Bila satu saja dari faktor
diatas tidak terpenuhi, maka two in one
tidak terjadi, dengan demikian akad menjadi sah.
E.
Transaksi yang dibenarkan dalam Islam
Transaksi atau cara mua’malah yang dibenarkan dalam Islam adalah
terkandung dalam ayat Al-Quran seperti dibawah ini :
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan
(gunakan) harta-harta kamu sesama kamu dengan jalan yang salah (tipu, judi dan
sebagainya), kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan secara suka sama
suka di antara kamu, dan janganlah kamu berbunuh-bunuhan sesama sendiri. Sesungguhnya
Allah sentiasa Mengasihani kamu.” (Q.S
Al-baqarah : 282)
Ayat al-Quran di atas dengan jelas menggariskan
kepada kita prinsip dasar dan yang paling penting dalam malakukan transaksi dalam muamalah/perekonomian Islam. Setiap
orang Islam hendaklah menjalani kehidupannya seolah-olah Allah swt sentiasa
berada disisinya. Kita hendaklah ingat bahawa semua harta yang kita miliki adalah amanah dan hak Allah swt.
Kalimat ‘bil batil’ dalam ayat
di atas bermaksud, amalan yang bertentangan dengan syari’ah dan prinsip moral. Jual beli adalah proses pertukaran manfaat sebagai keuntungan tanpa melanggar aturan atau penipuan terhadap pihak lain. Dalam
jual beli atau transaksi mua’malah
yang bertentangan dengan prinsip syari’ah seperti yang telah dijelaskan sebelum
ini adalah dilarang dan hendaklah dijauhi.
Hal yang paling
penting dalam jual beli atau transaksi mua’malah yang berteraskan
kepada prinsip syari’ah ialah setiap transaksi mua’malah itu haruslah berlandaskan kepada
prinsip kejujuran dan keadilan.
Al-Quran menekankan tentang kejujuran dan
keadilan dalam jual
beli atau transaksi mua’malah yang dijalankan. Ini bertujuan supaya perselisihan dan pertikaian di antara
pihak-pihak yang melaksanakan jual beli tersebut dapat
dihindarkan. Kelemahan manusia ialah sikap tamak terutama terhadap harta
dan kekayaan. Menurut sebuah hadis, apabila manusia meningkat tua,
terdapat 2 perkara yang masih muda dalam dirinya,
keinginan untuk mengumpul lebih banyak harta kekayaan dan keinginan untuk hidup
lebih lama. Biasanya orang jujur dan orang yang benar-benar beriman
kepada Allah swt akan bersyujur dengan apa yang mereka peroleh. Dalam
bertransaksi mereka akan bersifat jujur dan menjalankan hak dengan adil
seperti yang diperintahkan oleh Allah swt :
“Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil,
serta janganlah kamu mengurangi barang yang ditimbang.” (Q.S Al-An’am : 152)
Setiap orang Islam harus
jujur dalam semua hal dan urusan seperti menimbang sesuatu benda yang hendak
dijual dan ketika menjalankan segala bentuk transaksi mua’malah atau jual beli dengan orang lain. Dia hendaklah menjauhi
perbuatan menipu seperti dengan menunjukkan barang contoh yang bermutu tinggi ketika promosi, tetapi yang dijual tidak berkualitas atau kurang timbangan daripada apa yang disepakati.
Al-Quran menekankan tentang kejujuran dan
keadilan dalam segala bentuk jual beli antara satu sama lain. Perintah
dan saranan ini terkandung dalam firman Allah swt :
“Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan
janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela
di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah
menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”
Bahkan Allah swt telah memerintahkan kepada sesiapa pun yang melaksanakan jual beli agar menjalankannya dengan penuh kejujuran dan keadilan terhadap semua pihak
yang terlibat. Jika seseorang menjalankannya dengan menurut panduan
al-Quran dan sunnah, dia akan mendapat rahmat Allah swt walaupun dia tidak
memperolehi keuntungan yang besar. Selagi tidak wujud kezaliman, penipuan, berlomba dalam mencari keuntungan secara berlebih-lebihan atau riba dan
sebagainya, maka setiap orang Islam dianjurkan berbisnis dan bertransaksi dengan berlandaskan dan ketetapan syari’ah.
F.
Penutup
dan Kesimpulan
Konsep perdagangan yang dibicarakan Al-Quran pada umumnya bersifat prinsi-prinsip yang menjadi pedoman dalam perdagangan sepanjang masa, sesuai dengan karakter keabadian Al-Quran. Dengan demikian Al-quran tidak menjelaskan konsep perdagangan secara rinci. Seandainya Alquran berbicara secara rinci dan detail, maka ia akan sulit untuk menjawab perbagai persoalan perdagangan yang senantiasa berubah dan berkembang dalam menghadapi tantangan zaman.
Prinsip-prinsip transaksi
yang diajarkan Alquran ialah :
Pertama :
Setiap transaksi muamalah harus
didasari sikap saling ridha di antara dua pihak, sehingga para pihak tidak
merasa dirugikan atau dizalimi.
Kedua :
Menegakan prinsip keadilan,
baik dalam takaran, timbangan, ukuran mata uang (kurs), dan pembagian
keuntungan,
Ketiga : Prinsip larangan riba (interest free)
Keempat :
Kasih sayang, tolong menolong dan persaudaraan universal.
Kelima : Dalam
kegiatan perdagangan atau transaksi
muamalah tidak melakukan investasi pada usaha yang diharamkan seperti usaha-usaha yang merusak mental
misalnya narkoba dan pornograpi. Demikian
pula komoditas perdagangan haruslah produk yang halal dan thayyib baik barang maupun jasa.
Keenam : Perdagangan harus terhindar dari praktek
spekulasi, gharar, tadlis dan maysir
Kamis, 05 Februari 2015
PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM
PEMIKIRAN EKONOMI
AL-SYATIBI
(790 H / 1388 M)
Pendahuluan
Kemunculan ilmu
ekonomi Islam pada tiga dasawarsa belakangan ini, telah mengarahkan perhatian
para ilmuan modern kepada pemikiran ekonomi Islam klasik. Selama
ini, buku-buku tentang sejarah ekonomi yang ditulis para sejarawan ekonomi atau
ahli ekonomi, sama sekali tidak memberikan perhatian kepada pemikiran ekonomi
Islam.
Apresiasi para
sejarawan dan ahli ekonomi terhadap kemajuan kajian ekonomi Islam sangat kurang
dan bahkan terkesan mengabaikan dan menutupi jasa-jasa intelektual para ilmuwan
muslim. Buku Perkembangan Pemikiran Ekonomi tulisan Deliarnov
misalnya, sama sekali tidak memasukkan pemikiran para ekonom muslim di abad
pertengahan, padahal sangat banyak ilmuwan muslim klasik yang memiliki
pemikiran ekonomi yang amat maju melampaui ilmuwan-ilmuwan Barat dan jauh
mendahului pemikiran ekonomi Barat tersebut. Buku Sejarah Pemikiran
Ekonomi tulisan penulis Belanda Zimmerman, (terjemahan), juga tidak
memasukkan pemikiran ekonomi para pemikir ekonomi Islam. Dengan demikian sangat
tepat jika dikatakan bahwa buku-buku sejarah pemikiran ekonomi (konvensional)
yang banyak ditulis itu sesungguhnya adalah sejarah ekonomi Eropa,
karena hanya menjelaskan tentang pemikiran ekonomi para ilmuwan Eropa.
Pemikiran ekonomi
Islam tersebut diilhami dan dipandu oleh ajaran Al-Quran dan Sunnah juga
oleh ijtihad (pemikiran) dan pengalaman empiris mereka.[1] Pemikiran
adalah sebuah proses kemanusiaan, namun ajaran Al-quran dan sunnah bukanlah
pemikiran manusia. Yang menjadi objek kajian dalam pemikiran ekonomi Islam
bukanlah ajaran Al-quran dan sunnah tentang ekonomi tetapi pemikiran para
ilmuwan Islam tentang ekonomi dalam sejarah atau bagaimana mereka memahami
ajarean Al-Quran dan Sunnah tentang ekonomi. Obyek pemikiran ekonomi Islam juga
mencakup bagaimana sejarah ekonomi Islam yang terjadi dalam praktek historis.
Dengan demikian, tulisan ini hanya fokus kepada kajian historis, yakni
bagaimana usaha manusia dalam menginterpretasi dan mengaplikasikan ajaran
Alquran pada waktu dan tempat tertentu dan bagaimana orang-orang dahulu mencoba
memahami dan mengamati kegiatan ekonomi juga menganalisa
kebijakan-kebijakan ekonomi yang terjadi pada masanya.
Padahal sejarah
membuktikan bahwa Ilmuwan muslim adalah ilmuwan yang sangat banyak menulis
masalah ekonomi. Mereka tidak saja menulis dan mengkaji ekonomi
secara normatif dalam kitab fikih, tetapi juga secara empiris dan ilmiah dengan
metodologi yang sistimatis menganalisa masalah-masalah ekonomi. Salah satu
intelektual muslim yang paling terkemuka dan paling banyak pemikirannya tentang
ekonomi adalah Al-Syatibi (790 H / 1388 M).[2] Al-Syatibi adalah ilmuwan
muslim yang memiliki banyak pemikiran dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, sosial dan bahasa. Salah satu
pemikiran Al-Syatibi yang sangat menonjol dan amat penting untuk
dibahas adalah pemikirannya tentang ekonomi. Makalah ini akan membahas
pemikiran ekonomi Al-Syatibi dengan metode analitis, deskriptif dan
komparaif. Pentingnya pembahasan pemikiran Ibnu Khaldun tentang ekonomi karena
pemikirannya memiliki signifikansi yang besar bagi pengembangan ekonomi Islam
ke depan.
Pemikiran Ekonomi Al-Syatibi
A.
Biography
Al-Syatibi
yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Al-Gharnati
Al-Syatibi, ia berasal dari suku Arab Lakhmi dan merupakan salah seorang
cendikiawan muslim yang belum banyak diketahui latar belakang kehidupannya.
Nama Al-Syatibi dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah (Xitiba atau
Jativa) yang terletak di kawasan Spanyol bagian timur.
Al-Syatibi
dibesarkan dan memperoleh seluruh pendidikannya di ibukota kerajaan Nashr,
Granada, yang merupakan benteng terakhir umat Islam di Spanyol. Dalam meniti
pengembangan intelektualitasnya, tokoh yang bermazhab Maliki ini mendalami
berbagai ilmu, baik berbentuk ‘ulum
al-wasa’il (metode) maupun ‘ulum
maqashid (esensi dan hakikat). Al-Syatibi memulai aktivitas ilmiahnya
dengan belajar mendalami bahasa Arab dari Abu Abdillad Muhammad ibn Fakhkhar
Al-Biri, Abu Qasim Muhammad ibn ahmad Al-Syatibi dan Abu Ja’far Ahmad
Al-Syaqwari. Selanjutnya ia belajar dan mendalami hadis dari Abu Qasim ibn Bina
dan Syamsuddin Al-Tilimsani, ilmu kalam dan falsafah dari Abu Ali Mansur
Al-Zawawi, ilmu ushul fiqih dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Miqarri dan
Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad A-Syarif Al-Tilimsani, ilmu sastra dari Abu
Bakar Al-Qarsyi Al-Hasyim, serta berbagai ilmu lainnya.
Setelah
memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, Al-Syatibi mengembangkan potensi
keilmuannya dengan mengajar serta membuat karya-karya ilmiah seperti Syarh Jalil ‘ala al-Khulashah fi al-Nahw dan
Ushul al-Nahw dalam bidang baha Arab
dan al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah dan
al-I’tisham dalam bidang ushul fiqih.
Al-Syatibi wafat pada tanggal 8 Sya’ban 790 H (1388 M).
Konsep Maqashid al-Syari’ah, secara bahasa
terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan
al-Syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan al-Syari’ah berarti jalan menuju sumber
air, dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah suber pokok kehidupan. Menurut Al-Syatibi
menyatakan:[3]
“sesunggungnya syariah bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.”
Tujuan
syariah menurut Al-Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Kemaslahatan,
dalam hal ini diartikan sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia,
pemenuhan penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh
kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya dalam pengertian yang mutlak.[4]
Menurut Al-Syatibi
kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsur pokok kehidupan
manusia dapat diwujudkan dan dipelihara, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta. Al-Syatibi membagi maqashid
kedalam tiga tingkatan, yaitu:[5]
a.
Dharuriyat
Jenis
maqashid ini merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan
manusia di dunia dan akhirat yang mencakup pemeliharan lima unsur pokok dalam
kehidupan manusia, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
b.
Hajiyat
Jenis
maqashid ini dimaksud untuk memudahkan kehidupan manusia, menghilangkan
kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsur
pokok kehidupan manusia.
c.
Tahsiniyat
Tujuan
jenis muqashad yang ketiga ini adalah agar manusia dapat melakukan yang terbaik
untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia. Ia tidak
dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi barbagai kesulitan tetapi hanya
bertindak sebagai pelengkap, penerang dan penghias kehidupan manusai.
Al-Syatibi
menyimpulkan korelasi antara dharuriyat,
hajiyat dan tahsiniyat sebagai berikut :
a) Maqashid dharuriyat merupakan dasar bagi maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat.
b) Kerusakan pada maqashid
dharuriyat akan membawa kerusakan
pula pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat.
c) Sebaliknya kerusakan
pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat tidak dapat merusak maqashid dharuriyat.
d) Kerusakan pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat yang bersifat absolut
terkadang dapat merusak maqashid dharuriyat.
e) Pemeliharaan maqashid
hajiyat dan maqashid tahsiniyat
diperlukan demi pemeliharaan maqashid
dharuriyat secara tepat.
B.
Pandangan Al-Syatibi di Bidang Ekonomi
1)
Objek Kepemilikan
Pada
dasarnya Al-Syatibi mengakui hak milik individu, namun ia menolak kepemilikan
individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang
banyak.
2)
Pajak
Dalam
pandangan Al-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan umum). Dengan
mengutip pendapat para pendahulunya, seperti Al-Ghazali dan Ibnu Al-Farra’, ia
menyatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggung
jawab masyarakat. Dalam kondisi tidak mampu menjalankan tanggung jawab ini,
masyarakat bisa mengalihkannya kepada Baitul Mal serta menyumbangkan sebagian
kekayaan mereka sendiri untuk tujuan tersebut.[6]
C.
Wawasan Modern Teori Al-Syatibi
Syariah
menginginkan setiap individu memperhatikan kesejahteraan mereka. Pendapat Al-Syatibi
yakni manusia senantiasa dituntut untuk mencari kemaslahatan. Aktivitas ekonomi
produksi, kosumsi dan pertukaran yang menyertakan kemaslahatan seperti
didefinisikan syariah harus diikuti sebagai kewajiban agama untuk memperoleh
kebaikan di dunia dan akhirat. Dengan demikian, seluruh aktivitas ekonomi yang
mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut sebagai kebutuhan (needs). Berdasarkan konsep hierarchy of needs, bahwa garis hirarkis
kebutuhan manusia berdasarkan skala prioritasnya terdiri dari :[7]
a. Kebutuhan Fisiologi, mencakup kebutuhan dasar manusia,
seperti makan dan minum.
b. Kebutuhan keamanan, mencakup kebutuhan perlindungan
terhadap gangguan fisik dan kesehatan serta krisis ekonomi.
c. Kebutuhan Sosial, mencakup kebutuhan akan cinta, kasinh
sayang dan persahabatan.
d. Kebutuhan Akan Penghargaan, mencakup kebutuhan terhadap
penghormatan dan pengakuan diri.
e. Kebutuhan Aktualisasi Diri, mencakup kebutuhan
memberdayakan seluruh potensi dan kemampuan diri.
Kesimpulan
Konsep yang
telah dikemukakan oleh Al-Syatibi mempunyai keunggulan koparatif yang sangat
signifikan, yakni menempatkan agama sebagai faktor utama dalam elemen kebutuhan
dasar manusia. Dalam persepektif islam berpijak pada doktrin keagamaan yang
menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalam rangka memperoleh
kemaslahatan di dunia dan akhirat merupakan bagian dari kewajiban agama,
manusia akan termotivasi untuk selalu berkreasi dan berkerja keras, yang pada
akhirnya akan meningkatkan produktivitas kerja dan pertumbuhan ekonomi secara
keseluruhan.
Daftar
Pustaka
Al-Qardhawi,
Yusuf., Peran Nilai dan Moral Perekonomian (Jakarta: Rabbani press:
1997).
Azhar
Akmal Tarigan dkk., Dasar-dasar Ekonomi Islam (Bandung: Cipta
Pustaka Media: 2006)
Edwin,
Mustafa dkk., Pengenalan Eksklusif
Ekonomi Islam (Jakarta: KPMG, 2007).
Karim,
Adiwarman Azwar., Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi III, Jakarta:PT. Raja
Grafindo Persada, 2008.
[1] Heri
Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, (Yogyakarta:
Ekonisia, 2002), hal.
38.
[3] Ir. H. Adiwarman Azwar Karim,
S.E.,M.B.A.,M.A.E.P. Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam, Edisi III, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2008, hal.
246-247
[4]
Yusuf al-Qardhawi, Peran Nilai dan Moral Perekonomian (Jakarta:
Rabbani press: 1997), hal. 341
[5]
http://www.islamic-world.net/economics/al_kharaj.htm
diakses pada tanggal 10
Februari 2011
[6] Akmal Azhar, dkk, Dasar-dasar Ekonomi Islam
(Bandung: Cipta Pustaka Media: 2006), hal. 263
[7] Mustafa Edwin, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta:
KPMG, 2007), hal. 145
Langganan:
Postingan (Atom)